Minggu, 12 Juni 2011

Pembangunan JSS

(Jakarta: DPR RI) Jembatan Selat Sunda (JSS) merupakan pembangunan mega proyek infrastruktur Indonesia dengan lintas sektor kebutuhan dan penyelenggaraan. Penyelenggaraan pembangunan JSS ini diawali pada akhir 2009 dengan dikeluarkannya Keppres No. 36 Tahun 2009 tentang Tim Nasional Persiapan Pembangunan Jembatan Selat Sunda.
Chairul Anwar, anggota DPR RI Komisi V ini yang akrab dipanggil Chairul, mengutarakan bahwa JSS tidak hanya merupakan pembangunan jalan raya dan kereta api pada sebuah jembatan, namun juga pembangunan untuk utilitas seperti air, listrik, minyak/gas, telekomunikasi serta pengembangan kawasan sekitar jembatan. Pembangunan JSS harus memerhatikan secara cermat lintas sektor, termasuk pelibatan kementerian lain seperti kementerian perhubungan hingga Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Oleh karena itu, pembangunan JSS merupakan pembangunan multi infrastruktur dan multi sektoral.
Rencana pembangunan JSS banyak menghadapi tantangan dengan kompleksitasnya aspek yang harus diperhatikan serta membutuhkan waktu yang lama. Chairul mengingatkan, jangan sampai selama menunggu pembangunan tersebut, lalu pemerintah mengabaikan kemacetan dan transportasi lainnya yang melewati di Selat Sunda ini seperti kasus kemacetan di Merak akhir-akhir ini.
Tujuan Pemerintah terhadap pembangunan JSS ini perlu dikritisi bersama oleh masyarakat dan apabila membawa manfaat untuk kepentingan umum bangsa ini maka perlu didukung oleh semua masyarakat. Tujuan pemerintah tersebut seperti halnya mengurangi waktu tempuh dan biaya perjalanan, mengurangi kepadatan lalu lintas, memberikan fasilitas jalan alternatif, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan area sekitar serta mengembangkan area sekitar demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah.
Permasalahan lain yang amat penting dalam penyelenggaraan ini adalah pendanaan dan pembiyaan pembangunan JSS. Dengan demikian, pemerintah harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat dengan pemberian penjelasan mengenai pendanaan yang dibutuhkan.
Chairul mengingatkan kembali, penyusunan perencanaan JSS harus memperhatikan kondisi teknis lapangan, termasuk hambatan cuaca agar tidak terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan target.
Tantangan bagi pemerintah juga adalah mengenai kesiapan pembangunan JSS dengan membangun jalan lainnya, termasuk pembangunan jalan Trans Sumatera, baik Jalur Pantai Timur Sumatera maupun Jalur Pantai Barat Sumatera. Pembangunan JSS harus terintegrasi dengan Jalan Lintas Sumatera dan Jalan Lintas Jawa. Dengan demikian, JSS jangan hanya dikaji dengan meletakan lingkup lokasi diseputar pembangunan itu saja, tetapi dapat mengoptimalkan transportasi dari Aceh hingga Surabaya.
Chairul menyampaikan, perlunya kajian lebih jauh jika pembangunan JSS ini dilakukan secara paralel dengan pembangunan Riau dengan Malaka. Jangan sampai mempertimbangkan segi investasi tetapi juga faktor pemerataan pembangunan wilayah di Indonesia.
Beberapa perkiraan para ahli sebagaimana yang disampaikan oleh Pemerintah bahwa pembangunan JSS dimulai 2014, menurut beliau, harus memerhatikan kondisi waktu perpolitikan walau pertimbangan ini bukan karena pertimbangan politis, tetapi karena teknis. Mengingat, periode waktu tersebut merupakan waktu peralihan tugas dan fungsi DPR RI. DPR Komisi V ini pun berharap agar dapat dicoba pada akhir 2013 untuk dilakukan pembangunan pemancangan pertama.

Menurut beliau, fungsi dan tugas DPR RI pun sebagai pengawas pun harus dilakukan dalam mengawasi tindak lanjut Pemerintah terkait pembangunan JSS ini, seperti penyelesaian Perpres Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda, Pembentukan Badan Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda sesuai ketentuan Perpres, dan Pelaksanaan studi kelayakan dan basic design oleh badan usaha sesuai ketentuan Perpres dimaksud sehinggagroundbreaking dapat dilakukan pada tahun 2014.

Hakim: Pastikan Kelaikan Kereta Api!

Jakarta (6/6) DPR mendesak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) segera membentuk badan usaha yang bertanggung jawab terhada kelaikan sarana dan prasarana perkeretaapian. Dalam pandangan Komisi V, Direktur Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kemenhub tidak mampu menjalankan tugas untuk memastikan kelaikan sarana perkeretaapian di Indonesia. Demikian menurut Anggota Komisi V DPR RI, Abdul Hakim di Senayan, Senin (6/6). Hal ini disampaikan Hakim menanggapi berbagai peristiwa anjloknya kereta api dalam seminggu terakhir ini

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam kurun waktu 10 hari, terjadi tiga kali kejadian anjloknya kereta api. Dimulai dari kejadian anjloknya kereta barang di dekat Stasiun Ciganea, Purwakarta, Jawa Barat pada tanggal 27 Mei, yang diikuti oleh anjloknya Kereta Taksaka di Desa Notog, Patikraja, Banyumas tanggal 4 Juni, hingga anjloknya Kereta Serayu esok harinya, 5 Juni 2011 di Tasikmalaya.

Dalam pandangan Legislator PKS ini, Undang-Undang (UU) No. 23 tahun 2008 Tentang Perkeretaapian telah mengamanahkan pihak eksekutif, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan untuk melakukan audit terhadap aset PT. Kereta Api sebagai prasyarat menentukan kepemilikan aset. Setelah audit dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah pembentukan Badan Usaha Prasarana dan Badan Usaha Sarana Perkeretaapian. “Ini adalah amanah UU yang sampai saat ini belum dilaksanakan secara serius oleh Kemenhub”

Menurut Anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Lampung II ini, dengan dibentuknya badan usaha kelaikan tersebut, maka Dirjen Perkeretaapian Kemenhub dapat berkonsentrasi untuk kegiatan perencanaan dan pengembangan sistem dan jaringan jalan kereta api, serta melakukan monitoring dan evaluasi. Sementara itu, lanjut Hakim, Badan Usaha Kelaikan Sarana dan Prasarana bertanggung jawab terhadap operasional sarana dan prasarana penunjang perkeretaapian. “Logikanya, jika kelaikan sarana dan prasarana ini menjadi tanggung jawab Badan Usaha, maka segala bentuk sanksi administratif maupun pidana akan lebih mudah dilakukan. Tidak seperti yang terjadi saat ini, Dirjen Perkeretaapian tidak dapat begitu saja dipecat karena statusnya sebagai PNS” jelas Hakim yang juga Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini.
                                                                                              
Karena itu, menurut Hakim, dalam kasus anjloknya kereta ini, PT. Kereta Api Indonesia (PT KAI)  seharusnya dapat menuntut ganti rugi kepada Kemenhub akibat terganggunya pengoperasian kereta api pada jalur terjadinya insiden kereta anjlok ini. “PT.KAI telah memenuhi kewajibannya dengan membayar biaya perawatan jalan rel kepada Kemenhub, dan karena itu berhak meminta pertanggungjawaban atas kasus ini” pungkasnya.

Pemerintah harus tegas terhadap KKKS

Jakarta (8/6).  Tidak tercapainya target lifting minyak selama 5 bulan pertama di tahun 2011 ini membuat gerah kalangan Anggota DPR. Kinerja Pemerintah terkait target lifting sangat jauh dibawah target yang ditetapkan APBN.

Anggota DPR RI Sohibul Iman mengatakan “Pemerintah harus tegas terhadap KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) yang gagal memenuhi target, ada 29 KKKS yang perlu diberi punishment, agar mereka terpacu untuk meningkatkan produksi minyaknya.”

Sebagaimana diketahui, UU APBN mengamanatkan Pemerintah memenuhi target lifting Minyak 970.000 Barrel per hari. Namun hingga saat ini, pencapaian rata-rata hanya 906.000 Barrel per hari.

“Dengan hasil yang ada seperti ini, berarti ada pelanggaran terhadap UU APBN yang telah ditetapkan,  dan ini terjadi setiap tahun, ditetapkan targetnya, lalu tidak pernah tercapai,” ujar Politisi asal PKS ini.

Dalam Raker Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM yang membahas target lifting minyak pada asumsi makro RAPBN 2012 itu, Pemerintah seperti tidak mau belajar dari apa yang terjadi di Blok ONWJ misalnya. “Kita tahu bahwa di Blok itu ketika dikelola BP, produksinya hanya 23.000 BPH, tapi setelah ditangani Pertamina produksinya meningkat jadi 31.000 BPH, berarti ada yang salah dari KKKS yang selama ini mengelola Blok-blok Minyak kita,” ungkapnya.

Berbagai kendala yang menjadi penyebab tidak tercapainya target juga telah disampaikan Pemerintah. Namun apa yang disampaikan itu adalah masalah-masalah klasik yang dari tahun ke tahun itu terus yang dijadikan Kambing Hitam, kalau tidak masalah Unplanned Shutdown, atau masalah Penurunan Alamiah sumur minyak.

Sohibul berharap KKKS jangan menyembunyikan target produksi di lapangan, dan Pemerintah melalui BP Migas harus evaluasi berapa jumlah sesungguhnya volume produksi Minyak , apakah ada kesalahan perhitungan, atau sistem informasi produksi Minyak yang belum tertata baik. Itu otoritas Pemerintah.

Peningkatan Anggaran Lemhannas dan Wantannas

Jakarta (9/6)— DPR memberikan apresiasi atas pemberian opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dan Dewan Ketahanan Nasional  (Wantannas) selama 4 tahun berturut-turut Namun di sisi lain, DPR juga menyayangkan sikap pemerintah yang kurang memberikan apresiasi dalam bentuk peningkatan anggaran yang signifikan untuk menunjang kerja dan kinerja kedua lembaga yang prestisius ini. Demikian disampaikan Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Syahfan Badri Sampurno, di DPR, Kamis (9/6). “Pemerintah kurang memberikan apresiasi kepada Lemhanas dan Wantannas dalam bentuk peningkatan anggaran, terbukti pemerintah hanya meningkatkan anggaran Lemhannas sebesar 0,21%. dan sebesar 2,5 % dari APBN 2011.” jelasnya

Dalam pandangan Legislator PKS ini, seharusnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih besar pada kedua institusi ini, bukan saja sebagai reward atas prestasi opini WTP dari BPK saja, tapi yang jauh lebih penting adalah kedua institusi inilah yang diharapkan mampu memberikan gagasan, pemikiran maupun kegiatan yang dapat menjawab dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara .“Lemhannas dan Wantannas berperan strategis dalam menghadapi tantangan yang mengancam ideologi bangsa seperti Terorisme dan Radikalisme. Harusnya pemerintah memperhatikan hal ini” ujar Syahfan yang juga adalah Ketua DPP PKS Bidang Pemenangan Pemilu ini.

Anggota DPR  dari Daerah Pemilihan (Dapil) Bengkulu ini mengusulkan solusi untuk meningkatkan anggaran Lemhannas dan Wantannas dengan menjajaki peluang anggaran dari sektor pendidikan, dimana sesuai perintah Undang-Undang bahwa pemerintah wajib memberikan 20 % APBN untuk pendidikan. Menurut Syahfan, kegiatan yang dijalankan Lemhannas selama ini berupa pendidikan, latihan, penyiapan pemimpin nasional, dan program serupa lainnya,  merupakan kegiatan-kegiatan yang masuk dalam wilayah pendidikan. “Saya menilai, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Lemhannas dan Wantannas masuk dalam wilayah pendidikan, oleh karena itu seharusnya mendapat alokasi dana 20  % dari APBN.” pungkas Syahfan.

Perlu Langkah Strategis Atasi Kemiskinan

Jakarta (9/6) Anggota DPR RI dari PKS, Jazuli Juwaini, MA mengungkapkan permasalahan fakir miskin di Indonesia membutuhkan pengelolaan yang profesional dan strategis. Ada beberapa hal yang selama ini menjadi kendala dalam pengelolaan penanganan fakir miskin. Pertama, regulasi yang masih tumpang tindih. Regulasi terkait fakir miskin ada di beberapa undang-undang dan peraturan. Sehingga dibutuhkan satu undang-undang sebagai undang-undang payung, seperti yang saat ini sedang dalam proses pembahasan di DPR RI yaitu RUU Penanganan Fakir Miskin.

Kedua, lanjut Jazuli, masalah kelembagaan pengelola dan yang menanganinya. Selama ini permasalahan fakir miskin dikelola oleh 19 kementerian dan lembaga. Hal ini sangat tidak efektif. Banyaknya kementerian dan lembaga yang menangani masalah kemiskinan menyebabkan pemerintah terkesan lamban dalam menyikapi permasalahan kemiskinan. Karena terkadang ada ego sektoral yang menghambat koordinasi antar lembaga. “Jika kelembagaan penanganan kemiskinan ingin efektif, seharusnya 19 lembaga yang ada saat ini dipangkas saja dan dirampingkan hanya menjadi satu kementerian yang benar-benar fokus dalam menangani kemiskinan. Sehingga anggaran yang ada juga tidak habis hanya untuk koordinasi antar lembaga.” saran Jazuli di  DPR RI, Rabu,8/6 .

“Dan jika hanya ada satu kementerian yang fokus menangani kemiskinan akan memudahkan dalam mengevaluasi kinerjanya dan jelas kepada siapa kita meminta pertanggungjawaban. Kementerian yang sesuai dengan tupoksi tersebut adalah Kementerian Sosial. Kemensos harus diberikan legitimasi untuk menangani permasalahan kemiskinan.” tegas anggota Komisi VIII DPR RI ini.

Kendala yang ketiga menurut Jazuli adalah kurangnya keberpihakan anggaran untuk mengelola permasalahan kemiskinan. Pada tahun 2011 anggaran kemiskinan dalam APBN sebesar 69 Trilyun dari total APBN 1.229,58 Trilyun, jumlah itu hanya berkisar 5,6 persen dari APBN. Anggaran 69 Trilyun itu juga tersebar di 19 kementerian dan lembaga. Kementerian sosial tahun ini hanya dianggarkan 4,1 Trilyun, sekitar 0,33% APBN atau 6% dari 69 Trilyun (anggaran kemiskinan yang tersebar). “Dana sebesar itu tidak layak dibandingkan banyaknya program-program yang ada di Kemensos. Di negara-negara yang sukses dalam mengelola dan menangani persoalan sosial dan kemiskinan tidak ada yang anggaran kemiskinannya kurang dari 15% APBN. Kalau pemerintah Indonesia ingin serius menangani kemiskinan maka anggarannya juga harus sebanding. “lanjut tokoh ulama Banten ini

“Oleh karena itu, dalam RUU Penanganan Fakir Miskin yang sedang dibahas Komisi VIII DPR RI, harus memuat solusi dari ketiga kendala pengelolaan dan penanganan fakir miskin tersebut, yaitu adanya regulasi yang tepat, kemudian legitimasi kepada satu kementerian sebagai leading sector penanganan fakir miskin. Dan selanjutnya yang tidak kalah penting adalah adanya keberpihakan anggaran untuk penanganan fakir miskin. Perlu penegasan persentase untuk penanganan fakir miskin, apakah 5%, 10% atau 15%, yang jelas harus ada besarannya. Dengan demikian diharapkan pengelolaan dan penanganan fakir miskin di Indonesia dapat lebih fokus, profesional dan strategis.”pungkas Jazuli.

DPR : BI Rate Tetap 6,75% Bisa Dimaklumi

Jakarta (9/6) - Komisi XI DPR  menyambut baik keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 6,75%. “Saya kira bisa dimaklumi dan BI memang layak untuk berhati-hati dengan situasi makro kita saat ini. Meski tren inflasi headline terus menunjukkan penurunan pada Mei 2011 tercatat sebesar 5,98% (yoy), tetapi bulan-bulan inflasi sudah dimulai pada Mei ini meski relatif kecil 0,12%. Tetapi kedepan tekanannya secara siklus sudah memasuki bulan-bulan inflasi tinggi, Juli masa masuk sekolah, Agustus sudah Ramadhan dan berikutnya Idul Fitri. Memang harus hati-hati”Ungkap Anggota Komisi XI Kemal Aziz Stamboel, di Jakarta, Kamis (6/9)

Menurut Legislator yang berpengalaman sebagai Direktur PricewaterhouseCooper Consulting Indonesia selama lebih dari 25 tahun ini, kehati-hatian BI juga karena perhatiannya pada kelompok inflasi inti yang masih dalam tren meningkat, tercatat sebesar 4,64% (yoy) atau 0,27% (mtm) pada Mei 2011. “Ya, ini karena didorong oleh peningkatan harga komoditas global, meningkatnyadomestic demand, dan ekspektasi inflasi yang masih tinggi. Selain itu BI sepertinya masih mempertimbangkan kebijakanadministered prices Pemerintah terkait subsidi BBM dan listrik, yang kalau dieksekusi kedepan tentu akan berdampak signifikan”, tambahnya.

Menurut Anggota DPR dari Fraksi PKS ini, pemerintah dan Bank Sentral harus bekerja keras dan melakukan upaya antisipasi dini untuk mencapai target inflasi tahun 2011. Menurut Kemal, yang harus terus dimanage secara serius adalah inflasi pangan. Kenaikan harga pangan akan memberi pukulan yang signifikan bagi kelompok miskin karena pangan mendominasi pengeluaran orang miskin. Untuk itu, lanjut Kemal,  harus ada upaya serius memperbaiki manajemen stok dan distribusi pangan nasional dalam rangka stabilitas harga pangan sekaligus memperbaiki harga pembelian di tingkat petani. “Pemerintah perlu memperkuat program Raskin dalam rangka menjaga ketahanan pangan dengan cara meningkatkan cakupan dan besaran beras yang diberikan kepada keluarga miskin, dan memperbaiki manajemen Bulog. Selain itu infrastruktur domestic connectivity adalah mutlak”, jelasnya.

Dalam pandangan Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jabar XI ini, yang perlu diperhatikan lainya adalah tekanan nilai tukar. Dimana, pada bulan Mei 2011, nilai tukar Rupiah menguat ke level Rp 8.536 per dolar AS. Menurutnya, aliran masuk modal asing dan tren penguatan nilai tukar Rupiah memang bermanfaat untuk meredam tekanan inflasi, khususnya dari imported inflation, tetapi yang perlu diwaspadai adalah tekanan pada kinerja ekspor. Nilai tukar Rupiah harus dijaga dari penguatan yang terlalu berlebihan khususnya terkait kecenderungan deindustrialisasi yang meningkat pasca implementasi ACFTA sejak 1 Januari 2010 dan pengaruh kebijakan quantitative easing di Amerika Serikat. “Dibutuhkan fokus untuk menjaga stabilitas nilai tukar dalam rangka menjaga daya saing dan stabilitas perekonomian nasional”, tutupnya.